Senin, 22 Juli 2013

Teman Jiwa



Konsep cerdas kita berdua yang ku akui sangat ku suka: “teman jiwa”.

Bagiku, teman jiwa bukan relasi penuh kepentingan, tetapi relasi saling membutuhkan. Bila percaya bahwa jiwa pribadi kita tak utuh, maka percaya bahwa di luar sana ada sebelah jiwamu. Bukan romantisisme belaka, tetapi ini kebutuhan agar utuh.

Lima bulan bersama adalah waktu yang cepat, ku rasa. Tetapi layaknya teman lama, banyak hal yang kita bicarakan (ini fakta!) dan ku akui tak sedetikpun terbersit rasa bosan kala bersama dirimu. Mungkin hormon yang bekerja(?), atau mungkin itulah yang terjadi ketika jiwa kita ‘meng-utuh’(!).

Ah, mungkin menurutmu aku terlalu romantis, tetapi toh ini pengalaman jiwaku. Jiwaku dan indraku yang berpaut bersama jiwamu; indramu.

Dan bila konsep teman jiwa ini juga diafirmasi olehmu, aku harap sampai kapan pun keutuhan jiwa kita takkan tercerai. Oleh apa pun juga (ku harap).

Jiwa meng-utuh dengan berbagai jalan. Salah satunya seperti yang kita alami: saling mengagumi. Dan kita punya titik bersama untuk bertahan di jalan itu. kamu mencintai apa yang ku cinta, dan aku menyukai apa yang kamu suka. Musik. Mungkin itu jalan bagi jiwa kita. Alam, tempat ketika jiwa kita benar meng-utuh. Dan Tuhan, atau Tuan Bumi yang menjadi saksi meng-utuhnya jiwa kita.

Jangan pikir aku lebay. Aku menulis (atau mengetik) tulisan ini tanpa edit. Yang berarti ini keluar dari kedalaman batinku.


Aku mengagumimu. Karena dirimu adalah pantulan diriku (ya, berarti aku mengagumi diriku sendiri. Haha). Tapi kamu juga mengagumiku (aku-mu), yang berarti kamu sedang mengagumi dirimu sendiri. Kekaguman yang berujung pada rasa cinta yang takut kehilangan. Apa rasanya bila jiwamu terkoyak? Sakit, mungkin. Karena itu, setelah ku temukan kau sebagai teman jiwaku, satu-satunya untuk mempertahankan keutuhan ini adalah menjaga keutuhan itu sendiri. Aku menjaga jiwamu layaknya menjaga jiwaku, dan begitupun sebaliknya. 

Aku tak ingin berpura-pura, atau munafik, atau sejenisnya, bahwa sampai sekarang tak berhenti sedikitpun hasratku menginginkanmu. Dan mungkin bila nanti ada satu saja kesempatan, mungkin dengan segera ku sambut, bak gayung menyambut air: segera dan segar.

    Jangan menjauh dan menghilang. Itu saja yang ku minta.




Jogjakarta [ruang 9], 21 Mei 2013

Ketika Adzan Maghrib berkumandang, Allahu Akbar.



PS: Baling-baling sebagai penanda datangnya angin: datangnya aku. Kembali dalam jiwamu. Meng-utuh. Aku cinta. [yours-rhythm]