Kamis, 10 Oktober 2013

Masih Kita: Teman Jiwa

Aku merasa aku perlu untuk menulis sesuatu. Menulis ini! Dan masih terkait dengan tema teman jiwa, postinganku berbulan-bulan lalu.

Kalian tahu bagaimana rasanya tersakiti, disakiti, menyakiti? Aku tahu. Dan aku yakin kita semua tahu bagaimana rasanya itu, entah seberapa banyak kadar yang kita rasakan karena pengalaman-pengalaman kita ada yang serupa tetapi ada pula yang berbeda jauh.

Dalam suatu titik, aku merasa jenuh, lebih tepatnya lelah dengan relasi ini.

Dalam suatu titik aku menyadari bahwa selama ini aku selalu mencari, selalu membutuhkan, dan mengusahakan diri untuk selalu ada untuk dia! Untuk teman jiwaku ini!

Dan layaknya manusia biasa, aku lelah, letih, dan lemah. Lemah untuk mengada bahkan hanya sekedar menampakkan diri di hadapannya.

Akhirnya aku mengambil keputusan untuk menjauh, mengambil jarak dari dia, berusaha seminimal mungkin membangun percakapan dengannya. Sulit, memang. Karena serasa kamu sedang tidak berbicara pada dirimu sendiri. Tidak berbicara pada sosok yang begitu lengket denganmu. Tetapi, tekadku untuk mengambil jarak darinya sudah bulat.

Aku bermaksud untuk membuatnya belajar bahwa aku pun lelah, bahkan untuk membalas smsnya. Lelah untuk selalu menyediakan diri. Karena pernah sekali ia berkata bahwa aku adalah sosok yang selalu ada ketika dicari. Dan, lagi-lagi, di satu titik aku sadar bahwa ini akan meghancurkanku perlahan. Menghancurkan segenap perasaan, pikiran, dan jiwa ini.

Maka, secara sepihak aku yakin benar bahwa menjaga jarak adalah hal terbaik bagiku untuk pulih dan baginya untuk belajar.

Ia mencariku!

Hatiku tergerak oleh keinginan meng-ada, menyediakan diri untuk menjawab pencariannya. Tetapi ternyata tekadku masih lebih keras dari gerakan hati.

Hingga malam itu, ketika dua hari aku membangun jarak (bayangkan baru dua hari dan aku merasa seperti setahun!), ia mengirimkan pesan ini:

Teman, adalah hal terbaik yang pernah kumiliki
S'lama hidupku, s'lama masaku

Walau tak mungkin selamanya
S'lalu berdekatan, s'lalu beriringan
Terhalang jarak dan waktu
Untuk bicara, tertawa dan bercanda
Tumpahkan kekesalan
Menangis saatku putus cinta

Chorus:
[Aku mau teman selamanya
Berbagi tangis dan tawa
Tak mau sendiri, merasa sepi
Teman berikan aku ketenangan
Teman buat kurasakan bahagia
Pertemuan yang lama sudah kutunggu
Bebaskan hati ini dari rasa rindu]

teman = teman jiwa

Dan, tanpa ba-bi-bu, air mata ini langsung mengucur deras. Dan kau tak tahu, wahai soulmate! :D
Kata-kata yang paling meyentuh adalah Pertemuan yang lama sudah kutunggu / Bebaskan hati ini dari rasa rindu. Aku merindukannya. Merindukan sosoknya dengan teramat sangat. Dan hatiku saat itu berteriak, sempatkan waktumu untukku! Untuk bicara, tertawa dan bercanda. Untuk tumpahkan kekesalan!

Aku butuh rasanya dicari, rasanya dibutuhkan, dan rasanya menghilang. Agar kamu tahu rasanya mencari, rasanya membutuhkan, dan rasanya selalu meng-ada, menyediakan diri seperti yang telah ku lakukan sudah-sudah!

Ayolah, ayo. Pekalah dengan kehadiranku.

Dan aku lega bercampur haru bahwa kau mengerti dengan keputusanku membangun jarak, ketika [ku rasa] dengan lembut kau berkata, “jangan pergi ya” dan aku menjawab, jangan larang aku karena memang aku tak bisa pergi.

Ketika kau berkata bahwa kita memang butuh saat seperti ini. Jadi kita bisa menyadari kalo kita ga bisa meninggalkan...
"berjalan bersama"
Ya, berjalan bersama.
Dan aku hanya bisa berterima kasih untuk pengertianmu yang utuh.

Dan di malam ini, kau dalam diam mengajakku terbang, melepaskan segenap amarah dan kekesalanku terhadapmu. Merasakan angin yang hampir kita atau aku lupakan, meregangkan kembali kepekaan kita terhadap kehadiran angin ini, angin kita.

Kelegaan yang bisa kau berikan padaku tanpa kata, tanpa isyarat, dan tanpa suara dan membiarkan aku sendiri merasakannya.

Dan aku rasa itu!

Jiwa ini akhirnya dengan lega membuka tangan terhadap pelukan sang angin yang menyejukkan, juga meneduhkan.
Pulih dan kembali meng-utuh, dan Sang Maha Angin yang menanti keduanya kembali dalam pelukanNya. Sejuk dan teduh.

Kenapa lima kali kita berputar?
Kenapa tidak tujuh atau sepuluh?

Simpel. Karena tiga terlalu sedikit dan tujuh atau sepuluh terlalu banyak.
Lima kali berputar adalah  cukup untuk kita.
Layaknya kita, kita adalah cukup. Tak kurang, tak lebih.
Dan aku menyukainya.

Dan pada akhirnya aku berkata padamu,
You really know how to make my mood down,
But, you are so expert to make it up and better again.
Thanks a lot.
And I thank God because He sent me a friend like you: my soulmate.
Thanks a lot.
LYB!

Terima kasih untuk kehadiranmu, terima kasih karena sudah meng-ada untukku.

Terima kasih ini juga tak cukup menggambarkan rasa syukurku kepada Sang Ilahi yang dengan sadar menciptakan kita berdua dan menempatkan kita dalam relasi misterius ini.

Terima kasih.


Jogjakarta [ruang 2], 10 Oktober 2013
1.00 am
Ketika sayup lagu Natal terdengar, “Sembah dan puji Dia”

P.S.
“Jangan pergi. Mari berjalan bersama.”
Aku sayang.

[yours-rhythm]