I.
Pendahuluan
Ritual
dalam suatu budaya dapat dipandang sebagai bagian yang penting. Ritual juga
dapat menjadi sarana untuk melestarikan budaya yang pada dewasa ini bergerak
menuju modernisasi. Pernikahan pada dasarnya memperlihatkan ritual dalam suatu
daerah. Ritual yang di dalamnya tersimpan misteri, misteri akan Sesuatu yang
dapat disebut Adikodrati. Pernikahan, dalam hampir semua kebudayaan, dirayakan
dengan upacara yang sakral.[1]
Dalam paper ini, saya akan membahas ritual pernikahan adat Timor, salah satu
suku besar yang ada di Nusa Tenggara Timur. Timor sendiri terbagi dalam
suku-suku yang tergolong banyak dan masing-masing mempunyai ritual pernikahan
yang berbeda, namun tidak sepenuhnya berbeda. Ada beberapa bagian yang sama,
misalnya laki-laki yang berperan dalam hal menjalankan ritual ini.
Dalam
paper ini, penulis akan memberikan contoh ritual pernikahan dari beberapa suku
berbeda. Hal ini dilakukan sebagai perbandingan satu suku dengan suku yang
lainnya. Selain itu penulis juga akan melihat sejauh mana gereja merespon
ritual pernikahan tersebut. Selamat memasuki dunia pernikahan Timor.
II.
Pernikahan
Timor
Adat
orang Timor sebelum dan selama pernikahan tergolong rumit. Penulis menduga
bahwa ini disebabkan campur tangan keluarga besar dalam hampir setiap ritual
yang dilaksanakan. Jalinan ritual pernikahan Timor bila di urutkan adalah
sebagai berikut:
Pinangan
Pertanyaan yang muncul
pertama kali ketika menyebut kata ini yaitu apa itu pinangan/meminang? Hemat
saya, pinangan atau meminang adalah proses di mana sepasang kekasih
dipersiapkan untuk menikah, dengan persetujuan terbesar dari keluarga besar
kedua belah pihak. Menurut Middelkoop, ada dua kemungkinan terjadinya pinangan[2],
yaitu [1] kesepakatan pasangan itu sendiri (pilihan sendiri) dan [2] yang
dipinang adalah gadis pilihan orang tua (jodoh).
Pinangan
dengan Pilihan Sendiri
Sebelum pinangan ini,
ada persiapan yang harus dilakukan oleh pasangan, khusunya laki-laki. Contoh
yang diberikan oleh Middelkoop adalah sebagai berikut:
“… Bila seorang atoni[3]
jatuh hati pada seorang gadis dan ingin memperistrinya, maka diberinya sepucuk
sirih, artinya tempat sirih berisi mata uang. Bila gadis itu bukan gadis
baik-baik, maka mereka diam saja dan mereka merahasiakan hubungan mereka. Kalau
ia gadis yang baik, yang taat dan takut pada orang tuanya, maka pucuk sirih itu
diantarkan kepada mereka (orang tua si gadis). Kalau mereka tidak setuju, maka
anak gadis itu disuruh mengembalikan tanda cinta kasih itu. Tetapi kalau mereka
setuju, maka pucuk sirih itu disimpan, dan dikabarkan kepada calon bahwa mereka
setuju.”[4]
Dari contoh di atas
dapat dijelaskan bahwa sebelum pinangan, si lelaki harus meyakinkan diri dan
memastikan sikap si gadis dan orang tua terhadap dirinya. Penulis juga melihat
bahwa meski dikatakan tidak dijodohkan, persetujuan orang tua atas pasangan si
gadis dapat dilihat sebagai ‘perjodohan halus’. Kalau tidak disetujui orang
tua, maka habislah sudah hubungan pasangan tersebut. Setelah proses sebelum
pinangan berjalan dengan baik, maka pasangan dan orang tua kedua belah pihak
siap menjalankan proses selanjutnya yaitu pinangan.
Pinangan dalam adat
Timor sangat bervariasi, tergantung dari suku mana pasangan berasal dan dalam
status sosial seperti apa mereka hidup. Cara pinangan pasangan berstatus sosial
baik adalah demikian: bila seorang laki-laki meminang seorang gadis, maka
orangtuanya mengirimkan dua utusan, laki-laki dan perempuan, dengan pakaian
indah – di Timor berpakaian indah berarti memakai selimut dan sarung adat
(gambar 1) baru, memakai gelang-gelang lengan, kalung muti, dan lain-lain.
Utusan itu mempersembahkan sirih pinang (gambar 2) dan sejumlah uang pada orang
tua gadis itu.[5]
Keluarga si gadis akan
mengambil kesimpulan setuju atau tidak setuju terhadap pinangan si laki-laki
pada saat mereka kumpul keluarga. Dalam kumpul keluarga ini akan banyak
sanak-saudara yang berkumpul, baik dari keluarga ayah si gadis dan juga
keluarga ibu. Bila keluarga setuju, maka si gadis akan menerima pemberian yang
telah diberikan oleh keluarga laki-laki yaitu sejumlah uang dan tas sirih
pinang yang telah diisi dan tempat kapur. Setelah itu baru dirundingkan tentang
hari pernikahan, dan langsung ditetapkan.
Pinangan
dijodohkan
Jodoh yang ditetapkan
oleh orangtua si laki-laki seringkali berdasarkan hubungan darah mereka
(pernikahan sedarah). Pernikahan sedarah ini disebut panu. Panu ini berhubungan dengan perkawinan antara anak-anak garis
keturunan laki-laki dengan anak-anak garis keturunan perempuan.[6]
Bagan berikut akan menjelaskan mana saja yang boleh maupun tidak boleh
dinikahi:
![]() |
![]() |
|||||
![]() |
![]() |
Keterangan:
Anak laki-laki 6 dan 11
adalah panu[7]
terhadap anak perempuan 9 dan 13; jadi 6 dan 11 boleh kawin dengan 9 dan 13.
Tetapi 6 tidak boleh menikah dengan 10 dan 11 tidak boleh menikah dengan 7,
karena ayah dari masing-masing kakak beradik. Demikian pula 8 tidak boleh kawin
dengan 13, dan 12 tidak boleh kawin dengan 9 karena ibu masing-masing kakak
beradik.[8]
Proses setelah orangtua
laki-laki sudah menetapkan pasangan untuk anaknya ialah orangtua itu sendiri
atau kakak laki-laki ayah pergi bertemu dengan orang tua gadis yang akan
dipinang. Mereka membawa tempat sirih pinang yang juga berfungsi sebagai tempat
gelang dan kalung muti yang nanti akan diberikan kepada si gadis. Setiba di
rumah orangtua si gadis, mereka (orangtua laki-laki) mereka akan berlutut,
membuka tutup tempat sirih dan dengan gerakan tangan yang lazim mereka
mempersembahkan isi tempat sirih tersebut. Dan sambil melakukan hal tersebut,
dari pihak keluarga si laki-laki akan menggunakan ungkapan yang cocok untuk
mengungkapkan isi hati mereka. Dan bila keluarga perempuan menyetujui
permintaan keluarga laki-laki, maka gadis akan mengenakan gelang tangan dan
kalung yag telah diberikan.
Pesta
Pernikahan
Dalam beberapa
peristiwa, pinangan dapat dilaksanakan sekaligus dengan pesta pernikahan,
tergantung persetujuan kedua belah pihak, dan memang pinangan itu sendiri
merupakan pintu untuk masuk ke pernikahan. Tapi biasanya, pinangan dan pesta
pernikahan dipisahkan karena beberapa pertimbangan. Mungkin menyangkut urusan
mas kawin, atau mencari ‘hari baik’ untuk melangsungkan pesta pernikahan.
Ketika pesta pernikahan
berlangsung, si pengantin laki-laki harus membawakan sejumlah baranag untuk
pengantin perempuannya. Yang harus dibawa adalah oko[9]
berisi sejumlah uang tunai. Selain itu, pengantin laki-laki harus membawakan
gelang, sehelai baju, sarung adat, dan keperluan pernikahan pengantin
perempuan. Barang-barang itu lalu ditempatkan di hadapan orang tua pengantin
perempuan, lalu barang-barang itu dipakaikan pada pengantin perempuan.
Kemudian, pengantin perempuan mengambil sehelai selimut (selendang Timor) dan
sebuah hiasan kepala yang indah dan meletakannya di haapan orangtua pengantin
laki-laki agar mereka menghiasi anak laki-laki mereka.
Dalam perayaan ini,
seekor babi atau seekor sapi disembelih sebagai sesajen bagi arwah-arwah dan
juga member makan kepada tamu yang datang. Hewan yang disembelih dimaksudkan
agar mereka meluruskan pernikahan kedua pengantin dan mengaruniakan kesehatan
serta keturunan. Selesai upacara ini, gong-gong dipukul lalu ada pantun
bersahutan dan juga tarian bersama. Biasanya ayah atau wali dari pengantin
wanita akan member nasihat bagi kedua mempelai. Contoh nasihat tersebut yaitu: “Nua kim manek; bifal te nek Atoni, atonjhe’t
am nek bifel. Moè lele te nua ki, moè ume tè nua ki. Kalau bifel ansan lasi.
Atonjhe nanoina, kalau atonjhe ansan lasi bifel lè munoina. Nua ki ès nèk ès tè
mimnais.” Yang berarti “kalian berdua, bercintalah; istri cintailah suamimu
dan suami cintailah istrimu (seruan ini langsung ditandai dengan ciuman hidung
penganti). Buatlah kebun bersama, dan rumah berdua. Kalau sang istri dalam
salah satu hal membuat pelanggarn, peringatkanlah wahai suami; kalau sang suami
bersalah, tegurlah dia wahai istri.[10] Setelah
pesta pernikahan selesai, istri itu menetap pada suaminya dan keluarganya di kampung
laki-laki berasal.
III.
Mas
Kawin/Belis
Mas
kawin adalah salah satu terpenting bila membicarakan tentang pernikahan adat di
Timor maupun suku apapun di NTT. Mas kawin (selanjutnya disebut belis)
merupakan ‘tuntutan’ utama keluarga perempuan terhadap keluarga laki-laki.
Belis ini dapat berupa apa saja sesuai dengan apa yang diinginkan atau
dibutuhkan oleh keluarga perempuan. Penulis menyebut ‘keluarga’ karena pada
umumnya keluarga besarlah yang mengambil alih pengaturan belis. Hampir-hampir
tidak ada suara dari kedua calon pengantin dalam menentukan belis yang akan
diberikan.
Umumnya
mas kawin yang diberikan berupa sejumlah uang. Jumlah uangnya pun tergantung permintaan
keluarga perempuan. Bila keluarga perempuan ingin uang sejumlah Rp5.000.000,-
pihak laki-laki harus menyanggupinya. Kalau tidak, calon pengantin laki-laki
tidak dapat menikahi anak mereka. Uang pun tidak hanya 1 amplop saja. Bisa
dalam beberapa amplop dengan jumlah yang berbeda. Uang yang diberikan oleh
keluarga laki-laki pada umumnya diperuntukkan bagi sang ibu dari perempuan,
yaitu uang air susu ibu; uang to’ok yaitu
uang untuk saudara laki-laki tertua dari ibu; uang untuk pemerintah setempat; dan
uang untuk pesta pernikahan.
Selain
uang, ada juga belis berupa hewan untuk disembelih pada saat pesta. Hewan yang
dimaksud adalah hewan bertubuh besar seperti sapi, babi, atau kerbau. Hewan
tersebut waktu disembelih juga harus dibagi-bagi pada keluarga yang punya andil
besar. Pembicaraan tentang belis biasanya dibicarakan dalam kumpul keluarga
besar, baik itu keluarga laki-laki maupun perempuan, namun secara terpisah
(pembicaraan masing-masing keluarga).
Belis
pada satu sisi dapat mengikat kedua keluarga (memberikan nama keluarga
laki-laki pada perempuan), namun pada sisi lain juga dapat memberikan jarak
yang sangat jauh pada kedua pihak keluarga besar. Terkadang belis yang diminta
terlalu banyak sehingga menimbulkan kesusahan bagi pihak laki-laki, sedangkan
bila keluarga perempuan sudah menetapkan seberapa belisnya maka mau tidak mau
keluarga laki-laki harus menyanggupinya. Hal seperti ini dapat menimbulkan
sengketa kedua keluarga, dan biasanya tempat pelampiasan keluarga laki-laki
adalah si perempuan yang telah dinikahi. Si perempuan ini dapat menjadi
‘bulan-bulanan’ keluarga laki-laki karena menganggap telah ‘membayar mahal’ si
perempuan tersebut. Ironis memang, namun inilah adat. Jika tidak dijalankan,
dirasa kurang pas dalam sebuah pernikahan.
Namun
di zaman sekarang, untuk keluarga Timor modern, belis bukanlah lagi sebuah
keharusan. Pembicaraan tentang belis juga sedikit banyak melibatkan laki-laki
dan perempuan yang akan menikah. Bila dirasa terlalu banyak, belis bisa
dikurangi, ataupun ditiadakan. Semuanya menurut kesanggupan dan untuk kebaikan
kedua belah pihak keluarga.
IV.
Penutup
Pertanyaan
yang mengusik penulis saat menulis paper ini ialah mengapa pernikahan
digolongkan sebagai ritual yang sakral? Sejalan dengan ditulisnya paper ini
penulis berkesimpulan bahwa mempersembahkan korban kepada arwah secara komunal
dan kekeluargaan lebih dalam maknanya dibanding dengan memberi korban secara
individu, karena pada dasarnya sebuah ikatan keluarga akan lebih terasa pada
saat-saat seperti itu.
Tradisi
ritual pernikahan ini ada jauh sebelum agama masuk ke Timor. Lalu
pertanyaannya, bagaimana gereja merespon tradisi tersebut? Tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam ritual pernikahan ada sesi untuk memberikan korban pada
arwah nenek moyang. Gereja sejauh ini tidak terlalu mempersoalkan tradisi
tersebut, karena anggota gereja adalah anggota masyarakat itu sendiri yang
lahir dalam kebudayaan seperti itu. Namun bila adat ditanggapi dengan pemikiran
rasional dan dengan aturan gereja mengenai tidak boleh menyembah berhala, maka
bisa saja sesi yang melibatkan arwah ditiadakan. Semuanya tergantung seberapa
kuat anggota jemaat memegang dan menjunjung tinggi adat. Jika begitu, gereja
tidak akan bisa melarangnya.
Tradisi
dan agama, sedekat apapun hubungannya tetaplah berbeda. Tradisi merupakan
sesuatu yang khas dari sebuah daerah sehingga terkadang tradisi tidak akan
terusik dengan keberadaan agama.
*)
Judul paper, Nua Kim Manek berarti “Kalian berdua, bercintalah.” Kata-kata ini
merupakan seruan/nasihat dari ayah atau wali pengantin pria kepada kedua
mempelai. Kata-kata ini sedikit menggugah penulis bahwa dalam adat pun
pernikahan itu dianggap sebagai rekreasi bukan sekedar prokreasi semata. Namun
prokreasi atau rekreasi merupakan pembahasan dengan topic yang berbeda sehingga
penulis tidak menyinggungnya dalam paper ini.
V.
Daftar
Pustaka
Middelkoop,
dr. P. Atoni Pah
Meto (Pertemuan Injil dan Kebudayaan di kalangan Suku Timor Asli). (BPK
Gunung Mulia, 1982)
Schie,
G. van, Hubungan Manusia
dengan Misteri segala Misteri, (Jakarta: Fidei Press, 2008)
[1] G.
Van Schie, Hubungan Manusia dengan
Misteri segala Misteri, (Jakarta: Fidei Press, 2008) hlm. 257
[2] Dr.
P. Middelkoop, Atoni Pah Meto – Pertemuan
Injil dan Kebudayaan di Kalangan Suku Timor Asli, (BPK Gunung Mulia, 1982),
hlm. 21
[3]
Atoni adalah sebutan untuk laki-laki Timor
[4] Middelkoop,
hlm. 20
[5] Middelkoop,
hlm. 22
[6] Middelkoop,
hlm. 28
[7] Bahasa
Timor Panu artinya ‘belahan tempurung
kelapa’. Pasangan muda itu cocok seperti dua belahan tempurung dari buah kelapa
yang sama.
[8]
29, dengan perubahan karena keterangan nomor yang diberikan ada yang salah.
[9] Bahasa
Timor Oko adalah ‘tempat sirih’, di
sini sebagai lambang uang dalam oko yang dipersembahkan kepada keluarga si
perempuan.
[10] Middelkoop,
hlm. 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar