Minggu, 13 Mei 2012

Nua Kim Manek*



I.          Pendahuluan
Ritual dalam suatu budaya dapat dipandang sebagai bagian yang penting. Ritual juga dapat menjadi sarana untuk melestarikan budaya yang pada dewasa ini bergerak menuju modernisasi. Pernikahan pada dasarnya memperlihatkan ritual dalam suatu daerah. Ritual yang di dalamnya tersimpan misteri, misteri akan Sesuatu yang dapat disebut Adikodrati. Pernikahan, dalam hampir semua kebudayaan, dirayakan dengan upacara yang sakral.[1] Dalam paper ini, saya akan membahas ritual pernikahan adat Timor, salah satu suku besar yang ada di Nusa Tenggara Timur. Timor sendiri terbagi dalam suku-suku yang tergolong banyak dan masing-masing mempunyai ritual pernikahan yang berbeda, namun tidak sepenuhnya berbeda. Ada beberapa bagian yang sama, misalnya laki-laki yang berperan dalam hal menjalankan ritual ini.
Dalam paper ini, penulis akan memberikan contoh ritual pernikahan dari beberapa suku berbeda. Hal ini dilakukan sebagai perbandingan satu suku dengan suku yang lainnya. Selain itu penulis juga akan melihat sejauh mana gereja merespon ritual pernikahan tersebut. Selamat memasuki dunia pernikahan Timor.

II.       Pernikahan Timor
Adat orang Timor sebelum dan selama pernikahan tergolong rumit. Penulis menduga bahwa ini disebabkan campur tangan keluarga besar dalam hampir setiap ritual yang dilaksanakan. Jalinan ritual pernikahan Timor bila di urutkan adalah sebagai berikut:
Pinangan
Pertanyaan yang muncul pertama kali ketika menyebut kata ini yaitu apa itu pinangan/meminang? Hemat saya, pinangan atau meminang adalah proses di mana sepasang kekasih dipersiapkan untuk menikah, dengan persetujuan terbesar dari keluarga besar kedua belah pihak. Menurut Middelkoop, ada dua kemungkinan terjadinya pinangan[2], yaitu [1] kesepakatan pasangan itu sendiri (pilihan sendiri) dan [2] yang dipinang adalah gadis pilihan orang tua (jodoh).
Pinangan dengan Pilihan Sendiri
Sebelum pinangan ini, ada persiapan yang harus dilakukan oleh pasangan, khusunya laki-laki. Contoh yang diberikan oleh Middelkoop adalah sebagai berikut:

“… Bila seorang atoni[3] jatuh hati pada seorang gadis dan ingin memperistrinya, maka diberinya sepucuk sirih, artinya tempat sirih berisi mata uang. Bila gadis itu bukan gadis baik-baik, maka mereka diam saja dan mereka merahasiakan hubungan mereka. Kalau ia gadis yang baik, yang taat dan takut pada orang tuanya, maka pucuk sirih itu diantarkan kepada mereka (orang tua si gadis). Kalau mereka tidak setuju, maka anak gadis itu disuruh mengembalikan tanda cinta kasih itu. Tetapi kalau mereka setuju, maka pucuk sirih itu disimpan, dan dikabarkan kepada calon bahwa mereka setuju.”[4]

Dari contoh di atas dapat dijelaskan bahwa sebelum pinangan, si lelaki harus meyakinkan diri dan memastikan sikap si gadis dan orang tua terhadap dirinya. Penulis juga melihat bahwa meski dikatakan tidak dijodohkan, persetujuan orang tua atas pasangan si gadis dapat dilihat sebagai ‘perjodohan halus’. Kalau tidak disetujui orang tua, maka habislah sudah hubungan pasangan tersebut. Setelah proses sebelum pinangan berjalan dengan baik, maka pasangan dan orang tua kedua belah pihak siap menjalankan proses selanjutnya yaitu pinangan.
Pinangan dalam adat Timor sangat bervariasi, tergantung dari suku mana pasangan berasal dan dalam status sosial seperti apa mereka hidup. Cara pinangan pasangan berstatus sosial baik adalah demikian: bila seorang laki-laki meminang seorang gadis, maka orangtuanya mengirimkan dua utusan, laki-laki dan perempuan, dengan pakaian indah – di Timor berpakaian indah berarti memakai selimut dan sarung adat (gambar 1) baru, memakai gelang-gelang lengan, kalung muti, dan lain-lain. Utusan itu mempersembahkan sirih pinang (gambar 2) dan sejumlah uang pada orang tua gadis itu.[5]
Keluarga si gadis akan mengambil kesimpulan setuju atau tidak setuju terhadap pinangan si laki-laki pada saat mereka kumpul keluarga. Dalam kumpul keluarga ini akan banyak sanak-saudara yang berkumpul, baik dari keluarga ayah si gadis dan juga keluarga ibu. Bila keluarga setuju, maka si gadis akan menerima pemberian yang telah diberikan oleh keluarga laki-laki yaitu sejumlah uang dan tas sirih pinang yang telah diisi dan tempat kapur. Setelah itu baru dirundingkan tentang hari pernikahan, dan langsung ditetapkan.
Pinangan dijodohkan
Jodoh yang ditetapkan oleh orangtua si laki-laki seringkali berdasarkan hubungan darah mereka (pernikahan sedarah). Pernikahan sedarah ini disebut panu. Panu ini berhubungan dengan perkawinan antara anak-anak garis keturunan laki-laki dengan anak-anak garis keturunan perempuan.[6] Bagan berikut akan menjelaskan mana saja yang boleh maupun tidak boleh dinikahi:



                                                                         













Keterangan:
Anak laki-laki 6 dan 11 adalah panu[7] terhadap anak perempuan 9 dan 13; jadi 6 dan 11 boleh kawin dengan 9 dan 13. Tetapi 6 tidak boleh menikah dengan 10 dan 11 tidak boleh menikah dengan 7, karena ayah dari masing-masing kakak beradik. Demikian pula 8 tidak boleh kawin dengan 13, dan 12 tidak boleh kawin dengan 9 karena ibu masing-masing kakak beradik.[8]
Proses setelah orangtua laki-laki sudah menetapkan pasangan untuk anaknya ialah orangtua itu sendiri atau kakak laki-laki ayah pergi bertemu dengan orang tua gadis yang akan dipinang. Mereka membawa tempat sirih pinang yang juga berfungsi sebagai tempat gelang dan kalung muti yang nanti akan diberikan kepada si gadis. Setiba di rumah orangtua si gadis, mereka (orangtua laki-laki) mereka akan berlutut, membuka tutup tempat sirih dan dengan gerakan tangan yang lazim mereka mempersembahkan isi tempat sirih tersebut. Dan sambil melakukan hal tersebut, dari pihak keluarga si laki-laki akan menggunakan ungkapan yang cocok untuk mengungkapkan isi hati mereka. Dan bila keluarga perempuan menyetujui permintaan keluarga laki-laki, maka gadis akan mengenakan gelang tangan dan kalung yag telah diberikan.
Pesta Pernikahan
Dalam beberapa peristiwa, pinangan dapat dilaksanakan sekaligus dengan pesta pernikahan, tergantung persetujuan kedua belah pihak, dan memang pinangan itu sendiri merupakan pintu untuk masuk ke pernikahan. Tapi biasanya, pinangan dan pesta pernikahan dipisahkan karena beberapa pertimbangan. Mungkin menyangkut urusan mas kawin, atau mencari ‘hari baik’ untuk melangsungkan pesta pernikahan.
Ketika pesta pernikahan berlangsung, si pengantin laki-laki harus membawakan sejumlah baranag untuk pengantin perempuannya. Yang harus dibawa adalah oko[9] berisi sejumlah uang tunai. Selain itu, pengantin laki-laki harus membawakan gelang, sehelai baju, sarung adat, dan keperluan pernikahan pengantin perempuan. Barang-barang itu lalu ditempatkan di hadapan orang tua pengantin perempuan, lalu barang-barang itu dipakaikan pada pengantin perempuan. Kemudian, pengantin perempuan mengambil sehelai selimut (selendang Timor) dan sebuah hiasan kepala yang indah dan meletakannya di haapan orangtua pengantin laki-laki agar mereka menghiasi anak laki-laki mereka.
Dalam perayaan ini, seekor babi atau seekor sapi disembelih sebagai sesajen bagi arwah-arwah dan juga member makan kepada tamu yang datang. Hewan yang disembelih dimaksudkan agar mereka meluruskan pernikahan kedua pengantin dan mengaruniakan kesehatan serta keturunan. Selesai upacara ini, gong-gong dipukul lalu ada pantun bersahutan dan juga tarian bersama. Biasanya ayah atau wali dari pengantin wanita akan member nasihat bagi kedua mempelai. Contoh nasihat tersebut yaitu: “Nua kim manek; bifal te nek Atoni, atonjhe’t am nek bifel. Moè lele te nua ki, moè ume tè nua ki. Kalau bifel ansan lasi. Atonjhe nanoina, kalau atonjhe ansan lasi bifel lè munoina. Nua ki ès nèk ès tè mimnais.” Yang berarti “kalian berdua, bercintalah; istri cintailah suamimu dan suami cintailah istrimu (seruan ini langsung ditandai dengan ciuman hidung penganti). Buatlah kebun bersama, dan rumah berdua. Kalau sang istri dalam salah satu hal membuat pelanggarn, peringatkanlah wahai suami; kalau sang suami bersalah, tegurlah dia wahai istri.[10] Setelah pesta pernikahan selesai, istri itu menetap pada suaminya dan keluarganya di kampung laki-laki berasal.

III.    Mas Kawin/Belis
Mas kawin adalah salah satu terpenting bila membicarakan tentang pernikahan adat di Timor maupun suku apapun di NTT. Mas kawin (selanjutnya disebut belis) merupakan ‘tuntutan’ utama keluarga perempuan terhadap keluarga laki-laki. Belis ini dapat berupa apa saja sesuai dengan apa yang diinginkan atau dibutuhkan oleh keluarga perempuan. Penulis menyebut ‘keluarga’ karena pada umumnya keluarga besarlah yang mengambil alih pengaturan belis. Hampir-hampir tidak ada suara dari kedua calon pengantin dalam menentukan belis yang akan diberikan.
Umumnya mas kawin yang diberikan berupa sejumlah uang. Jumlah uangnya pun tergantung permintaan keluarga perempuan. Bila keluarga perempuan ingin uang sejumlah Rp5.000.000,- pihak laki-laki harus menyanggupinya. Kalau tidak, calon pengantin laki-laki tidak dapat menikahi anak mereka. Uang pun tidak hanya 1 amplop saja. Bisa dalam beberapa amplop dengan jumlah yang berbeda. Uang yang diberikan oleh keluarga laki-laki pada umumnya diperuntukkan bagi sang ibu dari perempuan, yaitu uang air susu ibu; uang to’ok yaitu uang untuk saudara laki-laki tertua dari ibu; uang untuk pemerintah setempat; dan uang untuk pesta pernikahan.
Selain uang, ada juga belis berupa hewan untuk disembelih pada saat pesta. Hewan yang dimaksud adalah hewan bertubuh besar seperti sapi, babi, atau kerbau. Hewan tersebut waktu disembelih juga harus dibagi-bagi pada keluarga yang punya andil besar. Pembicaraan tentang belis biasanya dibicarakan dalam kumpul keluarga besar, baik itu keluarga laki-laki maupun perempuan, namun secara terpisah (pembicaraan masing-masing keluarga).
Belis pada satu sisi dapat mengikat kedua keluarga (memberikan nama keluarga laki-laki pada perempuan), namun pada sisi lain juga dapat memberikan jarak yang sangat jauh pada kedua pihak keluarga besar. Terkadang belis yang diminta terlalu banyak sehingga menimbulkan kesusahan bagi pihak laki-laki, sedangkan bila keluarga perempuan sudah menetapkan seberapa belisnya maka mau tidak mau keluarga laki-laki harus menyanggupinya. Hal seperti ini dapat menimbulkan sengketa kedua keluarga, dan biasanya tempat pelampiasan keluarga laki-laki adalah si perempuan yang telah dinikahi. Si perempuan ini dapat menjadi ‘bulan-bulanan’ keluarga laki-laki karena menganggap telah ‘membayar mahal’ si perempuan tersebut. Ironis memang, namun inilah adat. Jika tidak dijalankan, dirasa kurang pas dalam sebuah pernikahan.
Namun di zaman sekarang, untuk keluarga Timor modern, belis bukanlah lagi sebuah keharusan. Pembicaraan tentang belis juga sedikit banyak melibatkan laki-laki dan perempuan yang akan menikah. Bila dirasa terlalu banyak, belis bisa dikurangi, ataupun ditiadakan. Semuanya menurut kesanggupan dan untuk kebaikan kedua belah pihak keluarga.

IV.    Penutup
Pertanyaan yang mengusik penulis saat menulis paper ini ialah mengapa pernikahan digolongkan sebagai ritual yang sakral? Sejalan dengan ditulisnya paper ini penulis berkesimpulan bahwa mempersembahkan korban kepada arwah secara komunal dan kekeluargaan lebih dalam maknanya dibanding dengan memberi korban secara individu, karena pada dasarnya sebuah ikatan keluarga akan lebih terasa pada saat-saat seperti itu.
Tradisi ritual pernikahan ini ada jauh sebelum agama masuk ke Timor. Lalu pertanyaannya, bagaimana gereja merespon tradisi tersebut? Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam ritual pernikahan ada sesi untuk memberikan korban pada arwah nenek moyang. Gereja sejauh ini tidak terlalu mempersoalkan tradisi tersebut, karena anggota gereja adalah anggota masyarakat itu sendiri yang lahir dalam kebudayaan seperti itu. Namun bila adat ditanggapi dengan pemikiran rasional dan dengan aturan gereja mengenai tidak boleh menyembah berhala, maka bisa saja sesi yang melibatkan arwah ditiadakan. Semuanya tergantung seberapa kuat anggota jemaat memegang dan menjunjung tinggi adat. Jika begitu, gereja tidak akan bisa melarangnya.
Tradisi dan agama, sedekat apapun hubungannya tetaplah berbeda. Tradisi merupakan sesuatu yang khas dari sebuah daerah sehingga terkadang tradisi tidak akan terusik dengan keberadaan agama.


*) Judul paper, Nua Kim Manek berarti “Kalian berdua, bercintalah.” Kata-kata ini merupakan seruan/nasihat dari ayah atau wali pengantin pria kepada kedua mempelai. Kata-kata ini sedikit menggugah penulis bahwa dalam adat pun pernikahan itu dianggap sebagai rekreasi bukan sekedar prokreasi semata. Namun prokreasi atau rekreasi merupakan pembahasan dengan topic yang berbeda sehingga penulis tidak menyinggungnya dalam paper ini.

V.       Daftar Pustaka

Middelkoop, dr. P. Atoni Pah Meto (Pertemuan Injil dan Kebudayaan di kalangan Suku Timor Asli). (BPK Gunung Mulia, 1982)

Schie, G. van, Hubungan Manusia dengan Misteri segala Misteri, (Jakarta: Fidei Press, 2008)



[1] G. Van Schie, Hubungan Manusia dengan Misteri segala Misteri, (Jakarta: Fidei Press, 2008) hlm. 257
[2] Dr. P. Middelkoop, Atoni Pah Meto – Pertemuan Injil dan Kebudayaan di Kalangan Suku Timor Asli, (BPK Gunung Mulia, 1982), hlm. 21
[3] Atoni adalah sebutan untuk laki-laki Timor
[4] Middelkoop, hlm. 20
[5] Middelkoop, hlm. 22
[6] Middelkoop, hlm. 28
[7] Bahasa Timor Panu artinya ‘belahan tempurung kelapa’. Pasangan muda itu cocok seperti dua belahan tempurung dari buah kelapa yang sama.
[8] 29, dengan perubahan karena keterangan nomor yang diberikan ada yang salah.
[9] Bahasa Timor Oko adalah ‘tempat sirih’, di sini sebagai lambang uang dalam oko yang dipersembahkan kepada keluarga si perempuan.
[10] Middelkoop, hlm. 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar